Coba lihat kejanggalan Orde Baru
memperlakukan Pancasila. Di satu sisi, sejak 1 Juni 1970, rezim Orde Baru
melarang peringatan Hari Lahirnya Pancasila yang jatuh setiap tanggal 1 Juni.
Di sisi lain, Orde Baru kemudian membuat peringatan sendiri, yakni setiap tanggal
1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Siapapun tak bisa menyangkal, Pancasila
lahir dari pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 di hadapan Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPKI). Dan, tidak
bisa disangkal pula, bahwa penggali Pancasila adalah Bung Karno.
Sayang, sejak Orde Baru berkuasa, proses
pemalsuan sejarah intensif dilakukan. Termasuk terkait sejarah Pancasila. Sejak
tahun 1971, Orde baru melalui ideolognya, Nugroho Notosusanto, mulai menyusun
versi manipulatif terkait sejarah Pancasila. Hasilnya gampang ditebak: peranan
Bung Karno dihilangkan dan 1 Juni 1945—sebagai Hari Lahirnya
Pancasila—dikaburkan.
Sebaliknya, Orde Baru kemudian menetapkan
1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Ini diputuskan sendiri oleh
Soeharto melalui Surat Keputusan Presiden No. 153/1967. Alhasil, selama 32
tahun kekuasaan orde baru, hari kelahiran Pancasila tidak pernah diperingati,
tetapi Hari Kesaktian Pancasila selalu diperingati.
1 Oktober sendiri mengacu pada 1 Oktober
1965, yakni peristiwa dimulainya “kudeta merangkak” terhadap pemerintahan Bung
Karno. Sejak itu, peringatan 1 Oktober sebagai “Hari Kesaktian Pancasila”
menjadi glorifikasi terhadap rezim Orde Baru atas jasa-jasanya menumpas
komunisme dan sebagai ‘penyelamat’ Pancasila.
Sekarang ini, setelah berbagai fakta
sejarah mengenai peristiwa 1965 mulai terungkap, ada baiknya predikat Orde Baru
sebagai penyelamat Pancasila perlu ditinjau ulang. Ini sekaligus untuk
membersihkan Pancasila dari lumuran dosa rezim Orde Baru.
Saya sendiri punya beberapa alasan
mengapa peringatan 1 Oktober 1965 itu harus digugat. Pertama, aksi politik yang
dilakukan oleh Soeharto dan sekelompok tentara pada 1 Oktober 1965 dan
sesudahnya adalah aksi kudeta terhadap pemerintahan yang sah, yakni
pemerintahan Bung Karno. Saya kira, tidak etis bila bangsa ini terus merayakan
sebuah kejahatan demokrasi, yakni kudeta terhadap pemerintahan yang sah dan
didukung oleh rakyat, sebagai hari kebanggaan nasional.
Kedua, 1 Oktober 1965 merupakan “titik
balik” dari perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme.
Kita tahu, hanya beberapa minggu setelah Soeharto dilantik sebagai Presiden,
PT. Freeport mulai menjarah kekayaan alam di Papua.
Lalu, setelah UU PMA tahun 1967 diteken,
Soeharto mulai mengundang korporasi asing untuk mengembang-biakkan
keuntungannya di Indonesia, dengan menjarah kekayaan alam Indonesia dan
menjadikan bangsa Indonesia sebagai kuli murah di negeri sendiri.
Praktis, sejak itulah cita-cita Revolusi
Nasional Indonesia, yang berkeinginan melikuidasi struktur ekonomi kolonial,
telah berakhir di tangan Soeharto dan begawan-begawan ekonominya yang disebut
“Mafia Barkeley”. Ironisnya, Soeharto menipu rakyat dengan menyebut sistem
ekonomi kapitalistiknya sebagai “ekonomi Pancasila”.
Tidak masuk akal, sistem ekonomi yang
begitu tuntuk kepada kapital asing, yang hanya memperkaya segelintir kapitalis,
yang mengesahkan pencolengan uang negara, yang mewarisi kita hutan luar negeri
ribuan Triliun, justru disebut “ekonomi Pancasila”.
Ketiga, sejak 1 Oktober 1965, dalam
rangka menumpas pendukung Bung Karno dan membangun kekuasaannya, orde baru
melakukan pembantaian terhadap jutaan orang. Dari dokumen sejarah yang kita
dapatkan hari ini, banyak diantara mereka yang dibantai itu—petani, buruh,
mahasiswa kiri, perempuan, seniman progressif, dan intelektual—adalah pendukung
loyal politik Bung Karno.
Ini adalah kejahatan kemanusiaan. Konon,
kejahatan kemanusiaan rezim Orde Baru merupakan tragedi kemanusiaan terbesar
kedua setelah Holocaus Nazi/Hitler. Saya kira, sebagai negara yang berdasarkan
Pancasila, yang menjunjung tinggi kemanusiaan, tidak pantas memperingati hari
dimulainya Genosida (1 Oktober 1965) itu sebagai hari kemenangan nasional.
Keempat, 1 Oktober 1965 menandai
dimulainya gelombang budaya anti-demokasi dan barbarian. Sejak itu, jutaan
buku, terbitan, dan bacaan-bacaan hasil karya manusia Indonesia dibakar.
Kebudayaan rakyat yang progressif dan demokratis, karena dianggap budaya PKI,
kemudian dimusnahkan dan dilarang.
Begitu Orde Baru berkuasa, kritik dan
kebebasan berpendapat dilarang. Para seniman tidak bebas berekspresi. Lantas,
tidak sedikit media massa, terutama koran, yang dibredel. Di era Orde Baru,
membakar buku adalah hal yang lazim. Padahal, kata Heinrich Heine, penyair
Jerman yang terkenal itu: “where books are burned, human beings are destined to
be burned too…”
Kelima, aksi kontra-revolusi Soeharto dan
kelompoknya, bagi saya, menyisakan beban sejarah dan kerugian yang sangat besar
bagi bangsa Indonesia hingga sekarang.
Praktek pemberangusan ideologi di era
Orde Baru, terutama ideologi kiri, menyebabkan bangsa kita mengalami
kemandekan, miskin imajinasi, tidak kritis, dan kurang kreatif. Hingga
sekarang, banyak generasi Indonesia, terutama yang dilahir di era Orba hingga sekarang,
masih gelap ketika melihat sejarah negerinya.
Sebagian kontrak karya pertambangan yang
merugikan bangsa Indonesia, seperti dengan Freeport, adalah hasil kongkalikong
Soeharto dan modal asing. Utang luar negeri yang terus membebani APBN kita hingga
sekarang juga sebagian besar adalah warisan rezim orde baru.
Sekarang ini, 68 tahun usia Pancasila dan
menjelang 68 tahun usia Proklamasi Kemerdeaan Republik Indonesia, saatnya kita
menyambungkan kembali benang sejarah bangsa yang pernah diputus oleh Orde Baru.
Mari menghidupkan kembali roh Pancasila yang sangat anti-kolonialisme dan
anti-imperialisme untuk kembali membebaskan negeri ini dari penjajahan baru:
neo-kolonialisme.
No comments:
Post a Comment